Menurut pengakuan Ibnu arabi,
kitab fusus Al- Hikam merupakanpemberian Nabi Muhammad saw kepadanya
melalui mimpi. Dalam mimpi tersebut Nabi Muhammad saw mengatakan ini
kitab fusus Al Hikam , ambil dan sebarkan kepada umat manusia agar
mereka mengambil manfaat. Dalam pengakuannya juga, Ibnu Arabi tidak
pernah menulis yang mempunyai suatu maksud yang tertata, sebagaimana
penulis-penulis lainnya pada umumnya. Penulisannya berdasarkan kilatan
cahaya dari ilha Ilahi yang telah mendekatinya.Kalau karyanya dengan
jelas menunjukkan suatu komposisi, hal ini sesuatu yang tidak sengaja.
Dengan ilha Ilahi dan pengalaman ini, keyakinan Ibnu Arabi kepada Allah
swt semakin bertambah mantap.
Dengan
melihat tamsil atau gambaran yang dituliskan Ibnu Arabi dalam kitab
fusus Al hikam sebagai bentuk bangunan pandangan Ibnu Arabi tentang
whdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti. Banyak juga yang menilai
bahwa Ibnu Arabi sebenarnya sedang membangun pandangannya dengan
mengambil/meminjam perangkat-perangkat agama yang sudah mapan.
Dengan
pandangannya itu sudah menjadi cirri khas Ibnu arabi di hamper semua
karyanya selalu menampilkan gagasan keagamaan yang tidak lazim.
Karenanya, selama perjalanan hidupnya sering kali Ibnu Arabi mendapat
perlawanan dan kecaman dari berbagai kalangan, terutama kelompok kaum
fuqaha dan ahli hadist yang terkenal literalis dan formalis, ini
disebabkan karena teori tentang wahdatul wujud yang dianggap condong
pada panteisme.
Phanteisme
ialah kepercayaan bahwwa Tuha menjelma dimana-mana, bahwa segala yang
wujud di ala m ini adalah perwujudannya .Sedagkan manunggaling kawula
gusti secara literal berarti menyatu Hamba dan Tuhan.
Predikat
negative yang melekat pada Ibnu arabi sehubugan dengan pandangan
wahdatul wujud kian menguat setelah mendapat kritikan tajam dari Ibnu
Taimiyah(w.728H/1328M).Menurut Ibnu Taimiyah wahdatul wujud bukanlah
tauhid, melainkan panteisme terselubung yang mengingkari eksistensi
Tuhan karena menganggap Tuhan ada di mana-mana dan menganggap alam
semesta (termasuk-manusia)sebagai manifestasinya:ma tsama mawjud illa
hadzal-‘alam Al-masyhud, yang artinya:tiada yang maujud kecuali alam
yang disaksikan ini. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud
Tuahn dengan wujud swgala yang ada:anna wujudal-ka’inat huwa ‘aynu
wujudillah, yang artinya:Sesungguhnya wujud ala mini adalah kenyataan
wujud Allah.
Ibnu
Taimiyah tidak asal tuduh, beliau terkenal pemberani, jujur, dan
bernalar tajam, sebagai bukti tuduhannya juga di tunjukkna yaitu:
Pada pembukaan kitab Al-Futuhat Al-Makkiyah yang berbunyi:
Tuhan adalah benar –nyata , tetapi hamba juga benar nyata.
Pertanyaan Ibnu Taimiyah:
- Lantas siapa yang dibebani kewajiban?
- Jika engkau katakana hamba, Dialah Tuhan.Tapi jika engkau katakan Tuhan, mengapa pula dibebani kewajiban?
Kitab Fusus Al-Hikam menyatakan:
- Subhana man azh-hara al-asy-ya’a wa huwa ‘aynuha (Mahasuci Allah yang mewujudkan segala sesuatu dan menjadi esensi-Nya)
- Sang
kebenaran adalah Pencipta perspektif ini maka oahamilah, akan tetapi
juga bukan ciptaan dari perspektif itu maka inagtlah!.
Dasar pernyataan Ibnu Arabi yaitu:surah Qaf ayat 16: Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadannya dari pada urat
lehernya.(Qs. Qaaf, 50:16).
Ibnu
Taimiyah dan ulama tafsir seperti imam Al-Biqa’i(w.885H/1480M) dalam
tafsirnya Nazhmu Ad-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa as-suwar, Imam
Al-Qurtubi (w.617H/1273M) dalam tafsirnya Al=Jami’ li-Alkamil-Quran
pendapatnya :”Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” itu
sebagai pernyataan figurative metaforis dan ini hanya merupakan
perumpamaan kedekatan (hadza matsal fi farth Al-qurb).
Ungkapan-ungkapan.pernyataan
uang pernah dikeluarkan pleh Ibnu Arabi beralasan, letak perbedaannya
hanya terletak pada penafsiran dengan orang-orang yang menentangnya,
contohnya:
Dalam kitab Futuhat Al- Makkiyah ketika ia menguraikan isi kandungan ayat Al-Mujaadilah ayat 7:
Tidakkah kamu perhatikan ,bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang dilangit dan di bumi?
Tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang ,melainkan Dialah keempatnya. Dan
tiada(pembicaraan antara)lima orang, melainkan Dialah keenamnya.dan
tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih
banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada.
Kemudian
Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang
telahmereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Qs. Al-Mujaadilah, 58:7).
IbnuArabi,
seorang pembaca yang cermat, dapat dengan mudah mengkap bahwa maksud
ungkapan “wa la adna min dzalika”adalah dua orang, sedangkan “wa la
aktsara”berarti tujuh orang atau lebih.
Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan :
- Kenapa
di ayat tersebut dikatakan, jika ada tiga individu maka Allah adalah
yang keempatnya, dan jika ada lima maka Allah yang keenam?
- Kenapa bukan, Jika ada empat maka dia kelimanya, ataupun jika ada enam maka Dia ketujuhnya?
Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi:
adalah karena Allah hendak menegaskan keesaan-Nya (annahu yuridu
al-ifrad(, bahwa Dialah yang berdiri sendiri, yang wujudnya diperlukan
namun tidak memerlukan yang lain. Dalam setiap jumlah tersebut Allah
menjadi penggenap akan tetapi tidak termasuk didalamnya
(yasyfa’uha(ya’ni an-najwa)bima laysa minha).
Dengan begitu….
Tambah
Ibnu Arabi, Allah juga menunjukkan status keberadaanNya. Maksudnya, tak
seorangpun dapat berdiri sendiri melainkan dengan wujudnya, digenapkan
oleh Al Haq, karena ketunggalan Nya dan Ke EsaanNya semata. Hatta la
takuna Al-ahadiyatu illa lahu yang artinya:sehingga tidak ada keesaan
kecuali bagiNya.
Oleh karena mahluk mustahil dapat menggenapkan Nya, tetapi sebaliknya Dia yang menggenapkan mahluk, firman Allah ta’ala:
Wahuwa ma’akum aina maa kunntum
Ibnu Arabi kemudian mengajukan pertanyaan lagi:
- mengapa bukan sebaliknya?
- Mengapa Allah tidak mengatakan :wa antum ma’a Hu aynamakana(dan kalian bersama Nya dimana saja Dia berada)?
Jawabannya(lanjutnya) Ibnu Arabi: karena mustahil bagi mahluk dapat kita(fa-ya’lamu subhanahu kayfa yash-habuna wa la na’rifu kayfa nash – habuHu).
Dasar pernyataan Ibnu Arabi juga ada.
Singkatnya, tafsir dari surah Al-Hadiid ayat 4, menurut Ibnu Arabi ialah: Kebesertaan hanya mungkin bagi Nya, tetapi mustahil bagi kita(fa Al-ma’iyyah lahu tsabitah fina, manfiyyah ‘anna fihi).
Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:Kemudian Dia
bersemayam di atas arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar dari padanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepada Nya. Dan Dia bersam kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah MahaMelihat apa yang kamu kerjakan(QS.Al-Hadiid,57:4).
Ibnu Taimiyah dan beberapa ulam tafsir ber[endapat :Ibnu arabi dan pengikutnya tergelincir ketika menafsirkan/memahami ayat ini
Disini
Tampak ambivalensi/dualisme Ibnu Arabi. Disatu sisi terkesan menganut
panteisme dan di sisi lain terkesan menolaknya. Namun, sikap mendua Ibnu
Arabi ini juga ditangkap oleh Ibnu Taimiyah.
Dan Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa Ibnu Arabi lebih dekat ke Islam dari pada panteisme.
Keraguan
Ibnu Taimiyah pada akhirnya terjawab setelah bertemu dengan Taqyuddin
Ibnu Athoilah As-Sakandari Asy-Syadzily disebuah masjid di kairo, yang
menjelaskan makna-makna metafora Ibnu Arabi.
“Kalau begitu yang sesat itu adalah pandanagn pengikut Ibnu Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya “,komentar Ibnu Taimiyah.
Catatan :Jika pembaca bingung dengan penjelasan artikel ini silahkan dipelajari dahulu sifa 20.
Sumber :WUJUD